Kamis, 23 Agustus 2007

Istilah kata "Pembangunan": Masih cocokkah dipergunakan dan tetap ingin dipopulerkan di era jaman begini?

Informasi dari Transforma Sarana Media (TSM) edisi III Agustus 2007.

Istilah Kata ’PEMBANGUNAN”: Masih Cocokkah Dipergunakan dan Tetap Ingin Dipopulerkan di Era Jaman Begini ?? [Hubungan Antara Seni Kata Etimologis & Politik Kekuasaan di Tanah Air].

Faktanya semakin dirasa banyak kalangan masyarakat (baca: pro rakyat), adanya konotasi negatif saat mendengar istilah kata ’PEMBANGUNAN’ dalam khasanah percakapan bahasa sehari-hari kita. Kalau jaman Orba dulu, kata itu sudah seperti kata atau password sakti di kalangan elit, mirip magician ngucap ’abakadabra’. Sekali terucap kata PEMBA-NGUNAN, urusan semua nyaris jadi lancar apalagi bagi keperluan tender proyek. Mempertautkan ’pengertian yang sama’ ’tau sama tau’ para elit dari pejabat, birokrasi, konglomerat pengusaha, politisi sampai polisi preman dan tentara masuk dalam budaya sistem perilaku gaya hidup yang memper: melakukan segala sesuatu sampai menghalalkan sesuatu demi dan atas nama PEMBANGUNAN.

Maka syahdan kata ’PEMBANGUNAN’ di hari-hari ini terus dipertanyakan, digugat dan dikonotasi negatip. Masa lalu yang getir, terutama untuk lapisan masyarakat yang mengalami ketidak-adilan, termajinalkan, tersingkir, tertindas. Kata itu sungguh membuat banyak masyarakat ’unhappy’, ngga suka. Mendengar kata itu, pikiran terasosiasi dengan gembar-gembor masa lalu, ingat kerakusan dan begitu jumawanya eksploitasi abis2an resources alam, ingat gelar bapak PEMBANGUNAN yang ingin dikekalkan bagi pak Harto. Ingat konglomerat hitam, ingin keuntungan vested manfaat yields profitabilitas output yang harus dikejar abis-abisan, oleh dan demi ’limpah-ruahnya’ kocek2 pribadi oligarki penguasa, pengusaha hitam, korporatokrasi. Namun dampak langsung kata PEMBANGUNAN itu, justru devisa budget kas negara ini jatuh cekak, utang liabilities kelewat banyak, rakyat pun puluh-puluhan juta jiwa terserak cekak, kebudayaan ’indie’ sendiri tersedak cekak dan terakhir lingkungan ekologis alam biotik dan abiotik 'linglung' rusak cepat rusak cekak rusak parah.

Kata ’PEMBANGUNAN’ itu karena pengaruh manusaia itu, telah membuat produsen primer alam sakit bermasalah. Energi di ambang kritis, jaring2 makanan pupus, daur ulang daur air kacau, emisi karbon naik eksponensiil. Bumi makin ngga ogah ditanami, tanah ’tuk-tuk’ mengutuk tak beri hidup cukup. Unsur2 hidup, relung ekologis, populasi alpa di ’tatan’. Reproduksi tak berstrategi, suksesi ekologis ’mampet’, terumbu karang abis, komposisi atmosfer berubah. Efek rumah kaca, buat lapisan ozon jadi ’bolong’. Es di kutub meleleh, gelombang pasang air laut sistematis meniscayakan ribuan pulau akan tenggelam; ujungnya global warming alias ’penghangatan global’. Perubahan klimat buat period musim gak bisa lagi mudah ditebak. Di sebelah badai dan banjir ada kering kerontang. Di tengah kemarau panjang, ada kebanjiran, banjir bandang banjir laut pasang. Ujungnya menyengsarakan.

Istilah kata ’PEMBANGUNAN’ dalam percakapan sudah semakin banyak digugat. Tak bisa gampang2 lagi dipakai. Orang luar katakan apa bedanya ’development’ dan ’empowerment’, sama saja PEMBANGUNAN, pemberdayaan. Namun, faktanya di sini tidak sama. Development di sana dengan PEMBANGUNAN di sini, makna interpretasi konotasi asosiasinya sangat berbeda. Boleh-boleh saja pakai kata ’development’, tapi harus ekstra hati2 ketika memakai kata ’PEMBANGUNAN’. Juga kata ’developer’, konotasi juga sudah negatif. Langsung mencitrakan perilaku developer yang banyak nakal, menipu lihai dan membodohi rakyat pada masa lalu. ”PEMBANGUNAN Papua” juga tidak netral. Sangat dekat maknanya dengan eksploitasi Papua abis2an. ”PEMBANGUNAN PLTN di Semenanjung Muria” juga berkonotasi cari keuntungan besar2an, pragmatisme gampangan, yang kesannya tanggung-jawab serta implementa-sinya ’balik-balik’ akan merugikan rakyat, menguntungkan ’pat gulipat’ pengusaha pejabat teras.

Ternyata kata atau istilah itu, pada hari2 ini banyak yang tidak lagi bernilai netral. Kata tidak sekadar bunyi. Di dalam ’kata’ ada ’makna’. Di dalam ’makna’ ada ’pengetahuan’. Dan di dalam ’pengetahuan’ ada ’kekuatan, power, kekuasaan’. Jika kata seperti layaknya bunyi, terdistorsi, maka pengetahuan dan kekuasaan juga bisa rusak, corrupted, merusak. ’PEMBANGUNAN’ yang sudah terdistorsi, telah berpotensi dan terbukti merusak mindset dan pikiran kekuasaan bangsa ini.

Jadi jika bangsa dan seluruh elemen2 di bangsa ini (gereja, bisnis, pengusaha, birokrat, politisi, DPR/D, pendidikan, LSM/NGO, media, mahasiswa dll) ingin keluar dari distorsi sistem budaya kekuasaan yang merusak, corrupted, jangan lagi mengobral-obral kata ”PEMBANGUNAN”.

Sejatinya, hari ini dan ke depan musti ada kata baru yang dicari, dipilih, dicipta. Kata baru yang mampu menggantikan kata ”PEMBANGUNAN” dalam khasanah percakapan tulisan dan lisan kita di segala lini dan pelosok. Dari tingkat yang paling formal sampai tingkat pergaulan tidak resmi sehari-hari di pasar dan warung kopi. Kata baru yang bukan saja mampu berpadanan arti dengan kata ’PEMBANGUNAN’, tapi bisa lebih memperkaya makna, memberi persepsi menyejukkan, tidak membuat konotasi negatip dan macam-macam. Tidak membuat distorsi serta membuat kekuasaan berjalan bertindak ngawur.

Kata baru yang akhirnya bisa diterima oleh segenap lapisan suku, agama dan golongan. Lebih ’menggigit’ sekaligus melayani rakyat, rakyat setempat, budaya setempat. Keseimbangan lingkungan ekologis dapat tetap tertata/terpelihara , budaya terkait terjaga maju transformatif, pemerataan sosial ekonomi tercipta, pengangguran teratasi, pengusaha kecil survive hidup tumbuh kembang, etos kerja pengusaha pejabat dirubah. Singkatnya, membikin negara (state), rakyat, lingkungan ekologis, kelembagaan daerah menjadi ’jauh lebih kaya dan sejahtera’ dari pada pejabat pengusaha politisi yang pasti juga akan kaya sejahtera.

Kata baru apakah itu yang bisa tercipta menggantikan kata ’PEM-BANGUNAN’ untuk bisa kita pakai sejak hari ini? Mari kita cari dan pikirkan bersama. Dari khasanah ”Kepemimpinan Pelayanan” di mana Penguasa Pengusaha hakikatnya adalah Pelayan Manusia dan Bumi, mungkin kita bisa ’mengcreate’ dan memakai alternatif beberapa kata 'baru' atau diperbarui sebagai pengganti:

1) ”PEMBERLAYANAN” , paduan kata ’Pemberdayaan” (empower-ment, to empower) dan ”Pelayanan” (service, to serve).

2) ”PEMFASILAYANAN” berasal dari kata ”fasilitasi” (memperlengkapi, membuat komplit) dan ”Pelayanan” (service, to serve).

3) ’PENATALAYANAN’ , kata lain stewardship dari kata tata-layan (to steward).

4) ”PEMFASILITASIAN” berasal dari kata ”fasilitasi” (memperlengkapi, membuat komplit) dan ”Pelayanan” (service, to serve).


Perlu ahli bahasa, budayawan dan seniman/wati turut memikirkan hal ini. Mereka yang berakar dari budaya Melayu, Sumatera, Jawa, Papua, NTT, Bali, Sulawesi, Kalimantan, WNI peranakan dll perlu mengkonsensuskan ini. Juga peran media/multi media.

Beberapa kata di atas sejatinya berasal dari khasanah Kepemimpinan Pelayanan, khasanah nilai Kristiani/Alkitab/ Gerejawi, seperti kata penata-layanan (stewardship) dan pelayanan (service, to serve). Namun, jika sudah menjadi konsensus nasional maka kata2 tsb sudah akan diberlakukan menjadi khasanah umum. Seperti halnya istilah kata: Visi, Misi, paradigma "Melayani Bukan Dilayani", dll bukankah jargon2 khasanah kristiani kini telah menjadi istilah2 yang berlaku umum di mana2, universil.

Maka sebagai contoh. Ketika kita memakai kata ”PEMBERLAYANAN PAPUA” misalnya, tentu makna, sense, persepsi, konotasi dan asosiasi pikiran kita akan berbeda, dibanding saat kita memakai kata ”PEMBANGUNAN PAPUA”. Dalam kata ’PEMBERLAYANAN” mengandung makna yang lebih utuh, positip, holistik, lebih kaya aspek2nya, ketimbang kita memakai kata ”PEMBANGUNAN” yang maknanya terasa lebih sempit (ekonomi, politik dst), terasa lebih elitis, dan yang jelas sudah terstigma dalam pikiran kita: berkonotasi negatip. Ada perasaan kelam yang dibawa dari masa lalu.

Salam 'pemberlayanan' , 'pemfasilayanan' , penatalayanan, 'pemfasilitasian' Nusa Persada kita!

Hans Midas Simanjuntak.
*) Pengamat-Praktisi Seni, Kepemimpinan dan Budaya.

Kamis, 16 Agustus 2007

Percayakah kita bahwa Indonesia akan maju? God bless Indonesia!

Dari informasi Transforma Sarana Media (TSM)/ edisi Agustus II 2007.

Renungan kemerdekaan.

Soal iman percaya keyakinan ini semakin relevan untuk membahas Indonesia masa sekarang dan ke depan. Percayakah kita bahwa Indonesia akan maju?

Sayup2 terdengar ada 4 orang sedang berbicara di beranda rumah. Makin lama suaranya makin keras. Rupanya mereka sedang membahas Indonesia, tentang “nasib” Indonesia sekarang dan ke depan.

Satu orang berkemeja biru mengatakan bahwa dia sama sekali ngga percaya bahwa Indonesia akan maju. Tidak akan. Dari dulu sejak dijajah Belanda sampai sekarang ya akan seperti ini, miskin dan terbelakang. Dia bilang, coba aja liat Indonesia sekarang: swalayan bencana, banjir bandang, kemacetan di mana2, kebakaran hutan, dampak pemasanasan global, kinerja polisi, ulah tentara, politisi parpol dan tokoh agama, separatisme berikut isu2 lokal regional nasional lainnya, yang ada mungkin hanya pesimisme. Pesimisme ini terkadang membuahkan rasa kecintaan dan kebanggaan terhadap Indonesia semakin pudar. Dan mungkin sudah bisa ditebak, bila cinta terhadap bangsa ini sudah makin memudar, bagaimana orang bisa ’tergerak’ untuk turut berkontribusi dan melayani bangsa ini dengan semangat berpengharapan. Sebaliknya, mungkin yang ada adalah sikap mengeluh, kesal, sedih, sewot, malu, minder, jengkel yang akhirnya tumpah menjadi pandang remeh identitas bangsa sendiri, apatis, dan mungkin ada keinginan untuk ’lari’ serta lupakan Indonesia. Kalau perlu ya pindah warga negara, jadi warga negara bangsa lain. Beres. Good bye Indonesia, forgetting Indonesia. Ada juga yang bilang: “saya bukan warga Indonesia lagi, mulai sekarang saya jadi warga dunia saja, kalau ngga ada yang mau menerima saya jadi warga negara bangsanya. Bagi saya soal warga negara mau di mana bagi saya ngga soal, asal jangan jadi warga negara Indonesia deh.. ?!

Orang kedua berpakaian oranye menanggap ‘no comment’. Tak tau mau kasih komentar apa untuk Indonesia. Yah.. just flowing aja, mengalir aja deh. Yah sekarang masih bisa makan, masih ada kerjaan, lets do it. Abis tak mengerti harus berbuat apa. Tau sih bahwa jaman lagi susah. Minyak tanah susah dicari karena program konversi. Minyak goreng curah terus naik kadang tak terkendali. Pejabat, pemimpin, tokoh agama banyak tak bisa dicontoh. Tapi toh mau buat apa? Dari tujuh turunan saya sudah di sini. Kecil di sini. Keluarga di sini. Mau ke mana lagi saya. Memang hidup di negara orang enak. Banyak yang bilang kesepian. Menjadi warga negara kelas dua, kelas tiga dst. Siapa yang mau menghiraukan. Sejelek2nya Indonesia, masih sangat enak untuk ditinggali. Makanan cocok, situasi orang2nya enak untuk diajak bergaul. Udara dan cuacanya juga sesuai untuk kulit dan fisik saya, dst. Sudah, diterima aja deh keadaan kita di sini. Mau diapa-apain pun tetap begitu. Ngga usah terlalu jauh2 berpikir. Dinikmati saja keadaan yang sudah begini. How to enjoy it!

Orang ketiga bertopi dengan pakaian jingga serta merta datang menimpali. Susah2 mikirin Indonesia. Kita jual aja Indonesia. Anggap aja dia barang. Komoditi. TKI/TKW aja bisa kita jual, tak peduli terampil atau tidak, legal atau ilegal, apalagi Indonesia. Kan banyak pulau2nya, tanah masih luas, sumber energi banyak, tambang melimpah. Mumpung orang2nya, SDMnya masih males2, bodoh pula, kita manfaatkan situasi ini untuk keruk keuntungan sebanyak2nya bagi diri kita sendiri. Ngapain mikirin negara. Ngga ada perlunya itu. Negara juga ngga mikirin kita. Apa pernah Indonesia mikirin kita? Waktu kita susah, Indonesia juga ngga pernah bantu kita. Iya sih, saya pernah sekolah di sini, pernah kerja di sini, cari makan juga pernah di sini. Bisnis juga di sini. Tapi kan itu sepenuhnya hasil kemampuan saya sendiri untuk memanfaatkan peluang. Ngga ada peran negara. Ngapain juga saya disuruh berkontribusi bagi bangsa. Bayar pajak negara. Kalau itu pajak dikelola benar. Kalau nggak? Sudahlah, kita ngga usah terlalu idealis liat Indonesia. Cari peluang apa yang bisa kita manfaatkan dari Indonesia. Biarin orang bilang saya opportunis. Yang jalanin hidup juga saya.

Orang keempat berpakaian coklat, terakhir mulai angkat bicara. Dia yakin Indonesia akan maju. Kuncinya, asumsi awalnya, adalah percaya, bahasa agamanya iman! Masih adakah keyakinan kita bahwa kita bisa maju ke depan? Apa alasan untuk percaya? Kita percaya karena masih ada orang-orang percaya !! Itu alasannya. Terlebih itu masih ada Tuhan yang kita percaya, yang sangat mampu untuk memulihkan bangsa dan ’tanah’ ini. Bukan karena melihat keadaan bangsa ini, tapi karena demi mempertahankan kedahsyatan namaNya sendiri.

Jika bangsa2 jiran seperti India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Cina bisa maju. Masak kita ngga bisa maju? Iman atau ’trust’ menjadi sangat sangat penting di era sekarang. Tanpa trust, iman bagaimana bisa timbul rasa cinta, cinta kepada bangsa. Nonsens. Sama pacar aja, kalau sudah tidak ada iman, trust bahwa ’dia akan jadi pacar gue selamanya’, gimana hubungan percintaaan dengan dia bisa berlanjut. Pasti langsung berhenti. Begitu juga dengan Indonesia. Karena masih ada percaya itulah, trust in God, maka kita masih mau memutuskan dan melanjutkan untuk mencintai Indonesia, melayani bangsa ini. Dengan cinta apa? Dengan ’unconditional love’ dan compassion (welas asih, belas kasihan).

Memang disadari sih, masih banyak kelemahan2 yang ada di ’tubuh’ bangsa ini. Tudingan2 kelemahan harus diterima sebagai fakta di mana kita berada sekarang. Beratus beribu fakta membuktikan bahwa kita lemah. Terima itu! Mungkin ngga usah berkilah, berdalih atau ’berlagak pilon’. Tapi kan ngga sampai di situ. Percaya perlu sekali dibangkitkan, bahwa Tuhan masih mempedulikan kita. Percaya kolektip. Tidak hanya sendiri, tapi meyakinkan teman2 yang lain pula, bahwa masih ada jalan untuk keluar.

Masak orang dari bangsa lain seperti peraih Noble 2006 Prof. Muh. Yunus yakin Indonesia akan maju, akan mampu memuseumkan kemiskinan dalam 15-20 tahun ke depan, masak kita sendiri belum atau tidak yakin? Setelah melihat bahwa kita betul2 lemah, sekaranglah waktunya kita harus membangun keyakinan, percaya, bahwa Indonesia pasti akan maju. Strengths kekuatannya apa sebagai alasan kita percaya? Kekuatannya karena kita masih mempunyai orang2 yang percaya! Terlebih kita masih punya Tuhan pemilik tanah negeri bangsa Indonesia yang siap memberkati kita.

Tak perlu jauh2 menunggu 2030. Dari sekarang pun kita bisa bangkit. Asal percaya.

Setelah selesai berbicara, keempatnya pun pindah dari beranda ke ruang makan dalam.
Ternyata mereka berempat makan bersama.


God bless Indonesia!! Selamat ultah, dirgahayu ke-62 tahun.

Salam kemerdekaan,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) (: