Kamis, 20 Desember 2007

Refleksi akhir tahun 2007 bagi pemimpin dan umat kristen indigenous Indonesia (BN-09).

Tahun 2007 sedikit hitungan hari lagi akan kita lalui bersama. Tahun baru, 2008, akan segera kita jelang. Banyak hal dalam titian perjalanan sepanjang 2007 dapat dijadikan 'lesson-learnt' untuk bekal memasuki tahun 2008.

Berikut beberapa petikan 'lesson-learnt' (BN-09) yang mungkin bisa menjadi bahan refleksi dari keseluruhan titian perjalanan 2007 umat Kristen indigenous Indonesia di tanah air. Semoga refleksi ini bermanfaat bagi umat kristen indigenous yang tinggal di bumi persada Nusantara, juga bagi yang tinggal kini di luar Indonesia.

1. Melihat perkembangan kehidupan keberagamaan dan spiritualitas kristen yang telah berlangsung sepanjang tahun 2007 ini, semakin dirasakan sangat perlunya umat kristen indigenous Indonesia bertambah matang tumbuh kembang dewasa dan berbuah. Hidup keberagamaan dan spiritualitas kristen yang sewajarnya makin mampu dihidupi dengan spirit, jiwa, moralitas, etika, sikap perilaku (behaviour) dan perbuatan sosial yang semakin cocok dan benar dengan inti ajaran kristen. Keberagamaan kristen dan spiritualitas yang diharap makin dapat dipertanggung- jawabkan, dengan kesanggupan melakukan refleksi introspeksi lebih dalam berikut orientasi pada kemajuan nyata dan terukur. Keberagamaan kristen yang berwawasan dan mencerah, jauh dari sikap picik, sindrom kecurigaan syak-wasangka dan berbagai perseteruan (menganggap yang lain sebagai musuh). Mampu makin seimbang dan integratif dalam memberikan penilaian terhadap berbagai fenomena kasus, peristiwa, pemikiran, aliran dan ketokohan. Tampil dengan performa dan kinerja lebih menyejukkan, kolaboratif, sehat membangun serta elegan dalam melakukan tugas perlombaan yang menghidupkan, bukan saling mematikan. Perlombaan sehat memperjuangkan tegaknya kebenaran, kemuliaan, kemandirian dan keteguhan bagi terwujudnya buah-buah kebaikan yang bisa dinikmati bersama.

2. Keberagamaan dan spiritualitas kristen indigenous bisa lebih giat diperjuangkan agar terhindar dari cara pandang kristen dikotomis, berbasiskan 'dualisme Plantonis' yang serba keliru. Yang kerap melulu memisahkan kehidupan rohani (sakral, ibadah) dengan kehidupan sekuler dunia dan lingkungan. Antara kehidupan agamawi dan praksis hidup sehari-hari. Karena kehidupan sendiri sejatinya utuh dan holistik sifatnya. Kesalehan, sikap pietis dalam ibadah semestinya harus terwujud tercermin pada saat yang sama dalam kesalehan sosial dan hidup kolektif bersama lingkungan lannya di sekitar. Terekspresi nyata dalam karakker dan buah-buah kebaikan di berbagai sudut dan lapangan kehidupan. Sebab itulah peranan para pemimpin (leaders) kristen indigenous Indonesia, baik tingkat lokal nasional maupun global, semakin sangat dibutuhkan dan diharapkan pada masa sekarang dan ke depan. Guna melapangkan umat kristen indigenous berpeluang besar semakin memiliki jati diri serta wawasan kekristenan, kebangsaan, kesukuan yang lebih utuh, seimbang, matang dan dewasa di hari-hari ke depan sekaitan dengan pergaulan global yang sedang berlangsung dewasa ini.

3. Kristen indigenous di negeri ini sangat perlu lebih mengutamakan & memperjuangkan pola kesaksian dan pewartaan Injil kabar baik melalui cara dan pendekatan yang lebih natural (alamiah), mandiri dan dewasa dalam terang kasih dan kuasa Tuhan. Sanggup membagikan hidup berirama Injil kepada saudara-saudara rekan-rekan sahabat khususnya umat muslim dalam pelbagai mazhabnya sebagai umat mayoritas di negeri ini. Tentu, sebelum hal ini bisa terwujud, pola kesaksian dan persekutuan Injil secara internal di kalangan umat kristen sendiri dalam kepelbagaian denominasinya juga harus diperjuangkan dan diwujud-nyatakan. Meretas 'point of contact' baru, membangun relasi jaringan perserikatan, saling asah asih asuh disertai pemulihan hubungan kristen yang diperbarui, menjadi prasyarat requisite penting untuk Injil damai sejahtera terwartakan dengan baik dalam keseluruhan manifestasinya. Hal ini berlaku juga dalam hubungan kristen indigenous dengan umat pemercaya lainnya, baik pemercaya lokal, nasional dan global di era globalisasi ini. Sebab itulah, pola atau cara-cara persekutuan dan pewartaan Injil yang cendrung dan sering hanya melulu menekankan aspek-aspek sensasional, bombastis, hiperbolis, selebriti dan sarkastis disertai upaya-upaya provokatif dan 'black campaign' (kampanye hitam), mungkin perlu berkali-kali lagi dipertimbangkan kembali guna menjamin bertumbuhnya dan majunya iman keberagamaan wawasan sisi edukasi sosial dan kesadaran lingkungan umat dalam berbagai dinamika perubahannya kini dan ke depan.

4. Umat Kristen indigenous Indonesia di hari-hari sekarang dan ke depan mungkin perlu lebih lagi bersikap makin kritis, positip dan matang dalam menyikapi setiap fenomena, issue, informasi, ideologi, faham, ajaran-ajaran, model spiritualitas, model pembangunan, metodologi dan kemunculan tokoh-tokoh baru yang berasal dari luar sebagai konsekuensi logis dari begitu derasnya arus informasi global dan trans nasionalisasi yang bergerak demikian cepat. Sanggup mengambil yang pas, benar, seimbang dan baik, namun sekaligus mampu juga secara cerdas dan gesit membuang hal-hal yang jelas-jelas tidak cocok, tidak pas dan keliru hal-hal buruk, kotor atau 'jorok' serta absurd yang berasal dari luar (negeri ini).

Faham-faham ideologi yang justru membuat rapuh, lemah dan rusaknya iman kekristenan, spirit nasion dan kebangsaan dari luar, sangat perlu dikritisi, diwaspadai dan ditindak-lanjuti untuk mencari solusinya, seperti:

(a) Faham kesuksesan dan kemakmuran semu yang dibangun oleh berbagai konstruksi teologi, cara pandang dan filosofi keliru (a.l. teologi kemakmuran, teologi sukses). Yang berbuahkan faham materialisme, mamonisme, hedonisme dan individualisme sebagai turunannya yang berdampak sangat 'jelek' bagi kehidupan umat dan bangsa.

(b) Pada ekstrim sisi yang lain, faham asketisme, kemiskinan status-quo dan pemiskinan yang salah keliru dan sama'jelek'nya (seperti a.l. teologi kemiskinan), perlu untuk terus dikritisi dan 'dicounter' pandangan-pandangan teologis, cara pandang dan filosofinya; agar umat tidak terus-menerus berkanjang, terpuruk, tertindas dan terjepit dalam lembah kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan yang 'abadi'. Terjerembab dalam lubang dan kubangan kegelapan dan kehinaan yang sama dan klasikal, tanpa ada solusi terobosan dalam bentuk perubahan paradigma berikut penyediaan akses-akses kemajuan yang solutif, riel dan transformatif mengubahkan) .

(c) Radikalisme agama, politik agama adn politik aliran yang sempit dan picik dengan berbagai konstruksi pembenarannya yang konyol dan tidak realistis, dengan berbagai tindakan kekerasan (violenisme) serta teror massa (mob-terror) sebagai pelampiasan di luar hukum, norma dan peradaban.

(d) Pluralisme agama dengan pelbagai gerakan kepercayaan dan beliefs serba plural, serba merelatifkan dengan menafikan unsur kemutlakan dan singularitas kebenaran di era 'zaman baru' (new age) berikut sekularisme agama, pemikir bebas dan kemunculan 'super hero' 'super idol' 'tuhan-tuhan' baru yang berupaya melepaskan rasio dari iman sejati yang hidup, melepaskan eksistensi ciptaan (beings) dari Tuhan Sang Penciptanya (Being).

(e) Occultisme dan mistikisme tradisionil berkemas berversi 'campur sari' modern dan supra-modern, dalam kemasan produk ilmu teknologi dan multimedia yang masih sangat besar/kental pengaruhnya di bidang keluarga, sosial, seni budaya, masyarakat, media publikasi massa, pendidikan, bisnis usaha dan kehidupan politik negeri ini.

5. Kristen indigenous negeri ini sudah selayaknya harus bahu-membahu untuk turut berjuang bagi kemandirian kristen indigenous sendiri, pemantapan jati diri dan daya ungkit kemajuan negeri ini di bidang spiritual, theologi, lingkungan, sosial budaya, pendidikan, hukum, politik dan ekonomi. Cara yang paling efektif sejatinya adalah melalui pengayaan (enrichment) aspek kekristenan, keberagamaan dan spiritualitas umat. Meningkatkan kepekaan kesadaran umat akan lingkungan dan warisan sosial budaya, sambil terus melakukan adjustments transformatif. Melakukan tekanan yang 'lebih keras' dan terbuka terhadap upaya pemberantasan KKN yang cendrung melamban dan melemah, pengentasan kemiskinan dan pengangguran, pengentasan kebodohan lewat jumlah, mutu strategi kurikulum pendidikan yang berdampak, penanggulangan imoralitas dan penyakit masyarakat mulai dari tingkat keluarga komunitas dan jemaat (kriminalitas, narkoba, judi, HIV/AIDs, premanisme, pungli, perceraian, free-sex, homosexual, perselingkuhan, provokasi propaganda dan keberingasan massa, tawuran, penyelundupan, pembalakan ilegal). Upaya riel mengatasi persoalan tidak terampilnya SDM dan masalah TKI dan kegagapan iptek. Terus meningkatkan kesadaran umat pada masalah hukum/hak asasi/keadilan (justice) dan arti kesehatan dan lingkungan. Pendeknya, berbagai bentuk aktivitas program, sosialisasi, jaringan dan improvements bagi solusi terobosan nyata perlu diiniasi dan diretas oleh pemimpin dan umat kristen indigenous di seluruh kabupaten/kota negeri ini. Berjuang lewat perbuatan dan karya nyata, selain juga lewat ide dan gagasan transformasional mencerahkan.

6. Terkait budaya suku dan kebangsaan, Kristen indigenous di negeri ini harus mampu berupaya untuk menjaga dan merevitalisasi kekayaan sumber daya alam yang masih ada, serta warisan budaya seni talenta bangsa dan suku-suku bangsa yang sangat diapreasiasi dikagumi dan mendapat pengakuan dari bangsa-bangsa di tingkat regional dan global (seperti a.l. Batak, Dayak, Maluku, Sunda, Bali, Jawa, Toraja, Mamasa, Manado Minahasa, Sangir Talaud, Nias, Papua, Mentawai, Sumba, Timor, Alor, Flores, Luwuk, Poso, dll). Kebudayaan yang luar biasa, eksotik dan 'berwarna' (colorful) sebagai sumberdaya seni dan budaya SDM Indonesia yang inheren eksis di antero blantika negeri ini. Ini berpotensi menjadi "daya saing" yang luar biasa sebagai bagian jati diri dan modal talenta sosial budaya serta lingkungan yang memungkinkan bangsa termasuk generasi muda (genmud) negeri ini tumbuh dan berkembang; dalam penatalayanan dan pemberdayaan menuju kemajuan dan kejayaan yang lebih berarti, bermartabat, penuh confidence dan membangun respek ke depan dalam pergaulan internal dan masyarakat antar-bangsa.

7. Kristen indigenous di negeri ini harus terus mendukung secara intensif dan konsisten bagi akselarasi proses regionalisasi dan otonomi daerah (otda) dalam 'development strategic planning' dan 'sistem hukum perijinan dan anggaran' yang benar di berbagai daerah kabupaten/kota Indonesia. Mampu menggunakan konsep lokal-nasional- global dan pertumbuhan pengembangan daerah secara profesional dan qualified menuju pemerataan dan pertumbuhan. Sehingga kaderisasi dan suksesi kepemimpinan, kesejahteraan, keamanan, kemakmuran dan keadilan yang otentik dapat diraih. Sebab itu, kaderisasi pionir-pionir kepemimpinan generasi yang lebih muda, bersih, jujur, profesional dan cerdas menjadi keharusan guna menciptakan peluang pertumbuhan, keadilan dan kemajuan di berbagai lini kehidupan komunitas, masyarakat dan bangsa.

8. Sejalan dengan poin 5-7, Kristen indigenous di Indonesia bersama dengan komunitas dan elemen bangsa lainnya, sudah seharusnya mendukung aktif kepemimpinan yang bersih, berani, jujur, adil dan penuh keteladanan dalam jajaran trias politika dan jajaran daerah di seluruh antero negeri ini. Sekaligus mampu membangun tata hukum, keadilan, sistem kenegaraan, kemasyarkatan, tata kota, desa dan pesisir serta komunitas yang handal dalam menciptakan lingkungan negara, bangsa, daerah dan komunitas, teritori yang layak dan 'trustworthiness' .

9. Kristen indigenous Indonesia pada akhirnya sudah selayaknya secara konsisten memperjuangkan terjaminnya kebenaran hakiki dan sejati ditegakkan di tengah bangsa, negara dan komunitas; hak individual tetap dijamin, semangat kebersamaan kesetiakawanan sosial dan kebangsaan ditingkatkan, warisan seni dan budaya dijaga digalakkan direvitalisasi, ruang kreatifitas diberi tempat, pola pertumbuhan alam natural diperhatikan dan diatas segalanya otoritas Tuhan Pencipta Semesta Alam sejati bertakhta di tengah bangsa ini.

Semoga di tahun yang baru, 2008 para pemimpin, influencers dan umat kristen indigenous negeri ini dan di mana pun di bagian dunia ini, dapat memberikan kontribusi yang lebih nyata bagi suatu harapan baru, ekspektasi baru, bagi suku-suku bangsa di negeri ini, bagi bangsa tercinta ini. Harapan kemajuan di bidang keberagamaan, spiritualitas, lingkungan, keluarga, sosial budaya, pendidikan, hukum, politik/kenegaraan, ekonomi dan kemasyaratan; bagi tiap individu dan komunitas yang ada di dalamnya.

Kiranya Tuhan menolong dan selalu menyertai kita sekalian!

Senin, 29 Oktober 2007

Kunjungan Board Paguyuban BN ke Luwuk Kab Banggai Sulteng 23-29 Oktober 2007

Setelah dari Sumba Barat dan Sumba Timur, pada tanggal 23-29 Oktober 2007 anggota Board Paguyuban Bakti Nusa Ibu Nyoman Yulia Budiasih beserta dengan Bpk M Suwita telah mengunjungi LSM Yayasan Bina Kasih (YBK) di Luwuk, Kab Banggai Sulawesi Tengah.

Tujuan kunjungan adalah melakukan audit, monitoring dan evaluasi (MonEv) terhadap program-program yang telah dikerjakan oleh YBK Luwuk terutama dalam kaitan program pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat marjinal bekerjasama dengan Canada Fund (CF). Metoda pemberdayaan yang digunakan adalah menggunakan pendekatan kelompok swadaya (self-help group) dan "revolving-fund" di bidang pertanian dan usaha-usaha mikro, antara lain di wilayah Bunta, Bungin, dll.

Bersyukur untuk "Diamond software" untuk kemudahan administrasi dan pelaporan keuangan LSM telah berhasil diaplikasikan dan dioperasikan dengan baik oleh staff LSM YBK Luwuk. Demikian juga dengan advis Bpk Hans Midas Simanjuntak pada Oktober 2005 lalu kepada Kelompok Tani di wilayah Toili Luwuk akan pentingnya pemakaian unit traktor-mini bagi intensifikasi pertanian di wilayah tsb, telah dilaksanakan dengan baik dan berhasil-guna.

Di Bungin Luwuk selain temu kerja dengan Direktur YBK Bpk. Toni Makolit dan staff serta Ketua Pengurus YBK Bpk Monduale Puahadi, Ibu Yulia dan Bpk M Suwita telah berjumpa juga dengan pejabat GKLB Luwuk dan segenap Pengurus YBK lainnya.

Saat transit di Mandai Makassar Sulsel menuju Luwuk dan pulang dari Luwuk, Ibu Yulia dan Bpk M Suwita juga sempat bertemu dengan perwakilan Paguyuban Bakti Nusa di Makassar, Bpk. Kurnaini Alwi. Selanjutnya juga bertemu Direktur, staff dan Pengurus LSM Yayasan Matepe Mandai Makassar, di lokasi Training Center (TC) GKSS Mandai. Pertemuan membahas kemungkinan diretas dan ditindak-lanjutinya program-program baru untuk pemberdayaan kelompok masyarakat miskin di wilayah Sulsel selain yang kini sudah dikerjakan. Juga memperkenalkan pentingnya penggunaan Diamond Software bagi peningkatan mutu kinerja keuangan dan laporan keuangan LSM Yayasan Matepe.

Kamis, 18 Oktober 2007

Kunjungan Board Executive BAKTI NUSA ke Waingapu, Sumba Timur NTT, 13-19 Oktober 2007.

Pada tanggal 13-19 Oktober 2007, pengurus Paguyuban BAKTI NUSA, Ibu Nyoman Yulia Budiasih, BSc MBA bersama dengan auditor dari Bali Bpk I Made Suwita,SE.Ak mengadakan kunjungan ke Waingapu Sumba Timur. Tujuannya adalah untuk melakukan monitoring dan evaluasi (MonEv) terhadap program kegiatan yang telah dilakukan oleh salah satu LSM yang ada di Sumba, yaitu LSM Kuda Putih Sejahtera (KPS).

Seperti diketahui, KPS adalah LSM yang selama ini bergerak dalam pemberdayaan masyarakat miskin dan marjinal di wilayah Sumba Timur dan Sumba Barat. Telah berdiri sejak tahun 1989. Program yang telah dijalankan selama belasan tahun, adalah community development (CD) bidang pertanian, pemberdayaan nelayan pesisir dan pengembangan usaha mikro. Terakhir KPS juga telah melaksanakan program transformasi holistik dan radio lokal (Global FM Waingapu).

Melalui jaringan kerja yang disebut JK-DBB pada masa lalu, KPS termasuk menjadi salah satu anggota jaringan. Bersama Alm. Ir Priyadi Reksasiswaya dan Alm dr Jonatan Mulia, Ibu Nyoman Yulia Budiasih pada periode 1993-200 telah menjadi penggerak JK-DBB yang berkantor di Dalung Bali. Ada sekitar 17 LSM yang menjadi anggota JK-DBB, umumnya berlokasi di wilayah Indonesia Bagian Timur, termasuk LSM KPS Sumba.

Selain mengunjungi KPS, Ibu Nyoman Yulia Budiasih pada tanggal 18 Oktober 2007 juga berkenan mengunjungi LSM Yayasan Empati Sumba (YES) yang dipimpin oleh Bpk. Samuel Djurumbatu, berkantor juga di Waingapu.

Sabtu, 08 September 2007

Mana yang lebih dulu utama: Identitas Suku Etnik atau Identitas Indonesia?

Mana yang lebih dulu utama: Identitas Suku Etnik atau Identitas Indonesia?
Ciri NKRI nasional relijius bagaimana?

Pertanyaan ini sering ditanyakan beberapa teman kepada saya.
Terhubung dengan wacana yang banyak dibicarakan selama ini: yang namanya Indonesia setelah 62 tahun merdeka disinyalir belum terbentuk. Memang secara politik, sudah. Namanya NKRI. Berciri nasionalis agamis, atau nasionalis relijius. Apa benar? Apa semua orang yang ber KTP Indonesia atau ber paspor Indonesia, sudah menerima bahwa ciri NKRI ini adalah nasionalis agamis, nasionalis relijius?

Apa yang dimaksud nasionalis? Apa yang dimaksud relijius? Apa yang dimaksud nasionalis, nasionalis sipil atau nasionalis militeristik? Lalu, yang dimaksud relijius apakah relijius mencakup agama2 seluruhnya berikut aliran kepercayaan, atau hanya relijius Islami. Sehingga ciri sebenarnya adalah nasionalis relijius islami. Wallahu alam.

Wacana seperti ini nyatanya sampai sekarang masih tetap bergulir. Kayaknya belum ada konsensus. Kalaupun ada mungkin baru di tingkat elit2. Elit2 dpr, elit2 ormas, elit pemerintah, birokrasi, dsb. Yang jelas, yang bisa diambil kesimpulannya, budaya peradaban Indonesia sejatinya barangkali memang belum terbentuk, belum mantap. Ciri NKRI sebagai nasionalis relijius itu pun sepertinya masih dipertanyakan. Tafsirannya bagaimana.

Wacana sejak masih ada majalah PRISMA beberapa dekade lalu, sudah dibicarakan bahwa NKRI itu nasion atau supra nasion. Karena menurut asal katanya, yang disebut nasion di Nusantara ini, adalah suku bangsa yang ada sekarang, seperti nasion Sunda, nasion Jawa, nasion Batak, nasion Bugis, nasion Melayu, nasion Papua, dlsb. Jadi, bila menelisik asal kata nasion itu adalah bangsa, bukan berarti suku bangsa. Sebab itu jika ditanya orang Batak misalnya, orang Dayak atau orang Papua, maka yang bersangkutan melalui perbendaharaan kata2 yang ada dalam bahasanya mengatakan bahwa kami adalah bangsa Batak (bhs Batak: bangso Batak), bangsa atau nasion Dayak, nasion Papua.

Nah, kalau suku2 bangsa yang kita sebut sekarang menjelaskan dirinya sendiri sebagai bangsa, Indonesia itu itu tepat tidak disebut bangsa juga? Apa tidak lebih tepat disebut "supra bangsa", atau kumpulan dari berbagai bangsa, sejenis istilah konfederasi misalnya?
Namun, lebih membingungkan lagi bila memakai jalan pikiran seperti ini. Karena nyatanya Indonesia bukanlah negara konfederasi, tapi negara bangsa, dengan bentuk negara kesatuan (unitarian). Ini diyakini masih banyak diwacanakan orang. Saya sudahi dulu wacana ini sampai disini.

Karena sejak proklamasi 17.8.1945 dengan landasan Sumpah Pemuda 28.10.1928 kita sudah mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kesatuan, unitarian, NKRI. Menjadi negara bangsa. Artinya nasion-nasion atau bisa disebut juga sebagai etnis, etnik (ethne) yang ada dalam wilayah NKRI, diterima sebagai sub-nasion, suku bangsa. Pertanyaan lanjutnya adalah apakah sub nasion sub nasion itu sudah benar2 menyatu secara unitarian dalam NKRI setelah 62 tahun merdeka ini?

Kita jawab mungkin belum, karena soal keragaman sub nasion sub nasion (tepatnya sebenarnya nasion nasion atau etnik2) saja sampai sekarang masih dinilai belum seluruh elemen bangsa bisa atau ikhlas menerimanya secara aklamasi. Di bibir atau forum2 resmi mungkin iya, tapi who knows di hati, di intuisi, naluri.

Mengukurnya tidak berapa sulit barangkali. Mungkin dapat melalui pertanyaan: Bangga mana proud mana kita atau seorang warga negara, menjadi orang Bugis, orang Batak, orang Bali, orang Papua, dst atau menjadi orang Indonesia, orang NKRI?

Dalam 10-20 tahun terakhir ini, saya punya pengalaman berjumpa dengan rekan2 baik di luar negeri atau pun ketika berbincang di sini, di Indonesia. Menurut pernyataan mereka yang cukup jujur saya kira, cukup banyak yang lebih bangga sebagai orang Bugis dari pada sebagai orang Indonesia. Lebih bangga dengan identitas orang Batak, ketimbang dikenal sebagai orang Indonesia. Identitas orang Bali ketimbang dikenal sebagai orang Indonesia. (Jangan lupa untuk hal yang satu ini, soal Bali, di mancanegara nama Bali jauh lebih dikenal masyarakat internasional ketimbang nama Indonesia, banyak mereka yang belum/tidak kenal). Juga Papua, Maluku, Timor dst. Mereka lebih confort, lebih proud bila dibilang sebagai orang Papua, Maluku, Timor NTT ketimbang dibilang sebagai orang Indonesia. Jika ini berlaku bagi orang etnis Tionghoa (Cina) yang pernah lahir dan besar di Indonesia, saya kira sama saja. Mungkin sekali mereka akan lebih proud dikatakan sebagai orang Tionghoa (Cina) bila
dikatakan sebagai orang Indonesia.

Pertanyaan kita kemudian, kenapa bagi sebagian mereka yang saya temui ini lebih bangga menyebut identitasnya dengan sukunya, etnisnya sendiri, ketimbang menyebut mereka sebagai orang Indonesia, identitas Indonesia? Kenapa sampai demikian?

Kalau memang faktanya masih seperti ini, sejatinya mana sebenarnya yang lebih dulu utama: Identitas suku etnik (kita), atau identitas sebagai Indonesia, identitas Indonesia?

Kalau identitas yang lebih penting, lebih dulu utama adalah identitas suku etnis (kita) sendiri, tentu akan memiliki konsekuensi. Yang namanya Indonesia sebagai identitas, kapan akan pernah terbentuk? Atau tepatnya dalam tujuan dan motif yang positip, bagaimana bisa membentuk identitas kepribadian Indonesia yang utuh, bila sementara identitas kesukuan, etnisitas yang masih muncul lebih utama, lebih membanggakan?

Sebaliknya, kalau identitas yang lebih dulu utama adalah identitas Indonesia, identitas NKRI, tentu membawa memiliki konsekuensinya pula. Dasar apa kita beridentitaskan Indonesia, bagaimana kita bisa memelihara dan mengembangkan terus identitas Indonesia itu, tanpa menafikan menelantarkan identitas kesukuan atau etnisitas mana kita berasal?

Kalau kita menjawab dua-duanya sama2 penting: identitas suku etnik kita dan identitas Indonesia sama2 penting, sama2 utama, bagaimana kita bisa tepat menyeimbangkan kedua identitas tersebut agar dapat berjalan seiring selaras di level operasionalnya. Tanpa ada perbenturan, tanpa ada perasaan kontradiksi?

Ini baru hubungan antara identitas suku etnik dengan identitas Indonesia, identitas Keindonesiaan. Belum lagi bila dikaitkan dengan agama, reliji, ideologi yang kita anut. Dianut oleh masing2nya.

Menengok ke negara2 lain, banyak pengamat menilai dan menengarai bila negara2/bangsa seperi Rusia, yang presidennya Vladimir Putin baru berkunjung ke Indonesia, sudah "beres" dan cukup "tuntas" dalam penyelesaian mengenai identitas bangsanya, nasionnya, budayanya. Sejak dulu bahkan dinilai Russia (Rush) memang sudah cukup mantap dalam ke Russia annya, terlebih sejak era Glasnost, Perestoika, Demokratiya bergulir sejak 1985. Demikian juga dengan Jepang, Cina, Korea dan India. Jangan dibanding dengan AS atau Eropa Barat.

Tinggal Indonesia, yang sudah menggulirkan Reformasi sejak 1998, demokratisasi, desentralisasi transformasi sosial ini bagaimana. Note: Demokrasi yang ditengarai kini terlalu terbuka, berjalan seakan "lepas kendali". Program "liberalisasi" terutama di bidang politik dan ekonomi (contoh restrukturisasi, privatisasi bumn, perbankan dll) dinilai kebablasan.. ).

Kembali ke persoalan. Kita tahu Islam, Kristen, modernisme, faham militerisme termasuk Hindu, Budha semuanya secara historia sejatinya berasal dari "luar" Indonesia. Bukan asli 'locals heritage' Indonesia. Kembali ke pertanyaan di bagian awal lagi. Jika disebut nasionalis versi NKRI di era sekarang, nasionalis yang mana nasionalis yang bagaimana?
- nasionalis militeristik?
- nasionalis jawani?
- nasionalis sipil, civil?
- nasionalis madani (islami)?
- nasionalis kristiani? hinduis? budhis?
- nasionalis mayoritas agama?
- nasionalis minoritas agama?
- nasionalis politis?
- nasionalis budaya?
- nasionalis tanpa patron militeristik, sipil, madani, kristiani, hinduis, budhis, politis, budaya dst? nasionalis dalam pengertian umum saja, general yang bisa menerima semua pencirian di atas?

Kalaupun disebut relijius, relijius yang mana, relijius yang bagaimana?
- relijius islami? relijius madani?
- relijius kejawenis?
- relijius kristiani?
- relijius hinduis, budhis? atau
- relijius dalam pengertian betul2 umum, general, yang bisa menerima latar belakang reliji atau agama kepercayaan apa/mana saja?

Ini memang perlu kejujuran bersama. Kejujuran bukan saja tingkat naluriah, tapi juga kejujuran tingkat intuitif. Kejujuran dalam ground-motives.

Selama belum ada kejujuran dan kesepakatan bersama konsensus bersama dalam menjawab persoalan berbangsa, ber"suku bangsa", beragama dan bernegara secara internal di Indonesia, yang diharap bisa bebas dari pengaruh "luar" atau "asing", maka akan selama itu pula akan masih banyak syak-wasangka, kecurigaan2 dan ketidak-terus terangan dalam wacana dan pembahasan menuju identitas bangsa yang sejati, yang genuine.

Mengapa wacana bahasan dan kesepakatan bersama ini sudah waktunya dituntaskan? Karena hemat saya ini berkaitan sekali dengan pemberdayaan, 'pembangunan' dan kemajuan bangsa untuk tahap2 selanjutnya. Bagaimana mau berbicara yang lebih advanced, menyangkut lingkungan, ekologi, investasi, "pembangunan" , infrastruktur, kemajuan dst, sementara hal yang fundamental, fondasional, radiks (akar) terhubung persoalan identitas bangsa dan kenegaraan NKRI masih belum juga tuntas. Masih terus hanya jadi sebatas wacana, dan belum mampu diselesaikan secara korporat, secara mendasar oleh seluruh elemen bangsa ini. Dari Rote sampai Miangas, dari Merauke sampai Aceh Nias, dari Yogyakarta Jakarte sampai Bulungan Atas? sampai Danau Di Atas?

Bagaimana opini Anda's ?

Salam persaudaraan, basudara, horas!
Hans Midas Simanjuntak.

Kamis, 23 Agustus 2007

Istilah kata "Pembangunan": Masih cocokkah dipergunakan dan tetap ingin dipopulerkan di era jaman begini?

Informasi dari Transforma Sarana Media (TSM) edisi III Agustus 2007.

Istilah Kata ’PEMBANGUNAN”: Masih Cocokkah Dipergunakan dan Tetap Ingin Dipopulerkan di Era Jaman Begini ?? [Hubungan Antara Seni Kata Etimologis & Politik Kekuasaan di Tanah Air].

Faktanya semakin dirasa banyak kalangan masyarakat (baca: pro rakyat), adanya konotasi negatif saat mendengar istilah kata ’PEMBANGUNAN’ dalam khasanah percakapan bahasa sehari-hari kita. Kalau jaman Orba dulu, kata itu sudah seperti kata atau password sakti di kalangan elit, mirip magician ngucap ’abakadabra’. Sekali terucap kata PEMBA-NGUNAN, urusan semua nyaris jadi lancar apalagi bagi keperluan tender proyek. Mempertautkan ’pengertian yang sama’ ’tau sama tau’ para elit dari pejabat, birokrasi, konglomerat pengusaha, politisi sampai polisi preman dan tentara masuk dalam budaya sistem perilaku gaya hidup yang memper: melakukan segala sesuatu sampai menghalalkan sesuatu demi dan atas nama PEMBANGUNAN.

Maka syahdan kata ’PEMBANGUNAN’ di hari-hari ini terus dipertanyakan, digugat dan dikonotasi negatip. Masa lalu yang getir, terutama untuk lapisan masyarakat yang mengalami ketidak-adilan, termajinalkan, tersingkir, tertindas. Kata itu sungguh membuat banyak masyarakat ’unhappy’, ngga suka. Mendengar kata itu, pikiran terasosiasi dengan gembar-gembor masa lalu, ingat kerakusan dan begitu jumawanya eksploitasi abis2an resources alam, ingat gelar bapak PEMBANGUNAN yang ingin dikekalkan bagi pak Harto. Ingat konglomerat hitam, ingin keuntungan vested manfaat yields profitabilitas output yang harus dikejar abis-abisan, oleh dan demi ’limpah-ruahnya’ kocek2 pribadi oligarki penguasa, pengusaha hitam, korporatokrasi. Namun dampak langsung kata PEMBANGUNAN itu, justru devisa budget kas negara ini jatuh cekak, utang liabilities kelewat banyak, rakyat pun puluh-puluhan juta jiwa terserak cekak, kebudayaan ’indie’ sendiri tersedak cekak dan terakhir lingkungan ekologis alam biotik dan abiotik 'linglung' rusak cepat rusak cekak rusak parah.

Kata ’PEMBANGUNAN’ itu karena pengaruh manusaia itu, telah membuat produsen primer alam sakit bermasalah. Energi di ambang kritis, jaring2 makanan pupus, daur ulang daur air kacau, emisi karbon naik eksponensiil. Bumi makin ngga ogah ditanami, tanah ’tuk-tuk’ mengutuk tak beri hidup cukup. Unsur2 hidup, relung ekologis, populasi alpa di ’tatan’. Reproduksi tak berstrategi, suksesi ekologis ’mampet’, terumbu karang abis, komposisi atmosfer berubah. Efek rumah kaca, buat lapisan ozon jadi ’bolong’. Es di kutub meleleh, gelombang pasang air laut sistematis meniscayakan ribuan pulau akan tenggelam; ujungnya global warming alias ’penghangatan global’. Perubahan klimat buat period musim gak bisa lagi mudah ditebak. Di sebelah badai dan banjir ada kering kerontang. Di tengah kemarau panjang, ada kebanjiran, banjir bandang banjir laut pasang. Ujungnya menyengsarakan.

Istilah kata ’PEMBANGUNAN’ dalam percakapan sudah semakin banyak digugat. Tak bisa gampang2 lagi dipakai. Orang luar katakan apa bedanya ’development’ dan ’empowerment’, sama saja PEMBANGUNAN, pemberdayaan. Namun, faktanya di sini tidak sama. Development di sana dengan PEMBANGUNAN di sini, makna interpretasi konotasi asosiasinya sangat berbeda. Boleh-boleh saja pakai kata ’development’, tapi harus ekstra hati2 ketika memakai kata ’PEMBANGUNAN’. Juga kata ’developer’, konotasi juga sudah negatif. Langsung mencitrakan perilaku developer yang banyak nakal, menipu lihai dan membodohi rakyat pada masa lalu. ”PEMBANGUNAN Papua” juga tidak netral. Sangat dekat maknanya dengan eksploitasi Papua abis2an. ”PEMBANGUNAN PLTN di Semenanjung Muria” juga berkonotasi cari keuntungan besar2an, pragmatisme gampangan, yang kesannya tanggung-jawab serta implementa-sinya ’balik-balik’ akan merugikan rakyat, menguntungkan ’pat gulipat’ pengusaha pejabat teras.

Ternyata kata atau istilah itu, pada hari2 ini banyak yang tidak lagi bernilai netral. Kata tidak sekadar bunyi. Di dalam ’kata’ ada ’makna’. Di dalam ’makna’ ada ’pengetahuan’. Dan di dalam ’pengetahuan’ ada ’kekuatan, power, kekuasaan’. Jika kata seperti layaknya bunyi, terdistorsi, maka pengetahuan dan kekuasaan juga bisa rusak, corrupted, merusak. ’PEMBANGUNAN’ yang sudah terdistorsi, telah berpotensi dan terbukti merusak mindset dan pikiran kekuasaan bangsa ini.

Jadi jika bangsa dan seluruh elemen2 di bangsa ini (gereja, bisnis, pengusaha, birokrat, politisi, DPR/D, pendidikan, LSM/NGO, media, mahasiswa dll) ingin keluar dari distorsi sistem budaya kekuasaan yang merusak, corrupted, jangan lagi mengobral-obral kata ”PEMBANGUNAN”.

Sejatinya, hari ini dan ke depan musti ada kata baru yang dicari, dipilih, dicipta. Kata baru yang mampu menggantikan kata ”PEMBANGUNAN” dalam khasanah percakapan tulisan dan lisan kita di segala lini dan pelosok. Dari tingkat yang paling formal sampai tingkat pergaulan tidak resmi sehari-hari di pasar dan warung kopi. Kata baru yang bukan saja mampu berpadanan arti dengan kata ’PEMBANGUNAN’, tapi bisa lebih memperkaya makna, memberi persepsi menyejukkan, tidak membuat konotasi negatip dan macam-macam. Tidak membuat distorsi serta membuat kekuasaan berjalan bertindak ngawur.

Kata baru yang akhirnya bisa diterima oleh segenap lapisan suku, agama dan golongan. Lebih ’menggigit’ sekaligus melayani rakyat, rakyat setempat, budaya setempat. Keseimbangan lingkungan ekologis dapat tetap tertata/terpelihara , budaya terkait terjaga maju transformatif, pemerataan sosial ekonomi tercipta, pengangguran teratasi, pengusaha kecil survive hidup tumbuh kembang, etos kerja pengusaha pejabat dirubah. Singkatnya, membikin negara (state), rakyat, lingkungan ekologis, kelembagaan daerah menjadi ’jauh lebih kaya dan sejahtera’ dari pada pejabat pengusaha politisi yang pasti juga akan kaya sejahtera.

Kata baru apakah itu yang bisa tercipta menggantikan kata ’PEM-BANGUNAN’ untuk bisa kita pakai sejak hari ini? Mari kita cari dan pikirkan bersama. Dari khasanah ”Kepemimpinan Pelayanan” di mana Penguasa Pengusaha hakikatnya adalah Pelayan Manusia dan Bumi, mungkin kita bisa ’mengcreate’ dan memakai alternatif beberapa kata 'baru' atau diperbarui sebagai pengganti:

1) ”PEMBERLAYANAN” , paduan kata ’Pemberdayaan” (empower-ment, to empower) dan ”Pelayanan” (service, to serve).

2) ”PEMFASILAYANAN” berasal dari kata ”fasilitasi” (memperlengkapi, membuat komplit) dan ”Pelayanan” (service, to serve).

3) ’PENATALAYANAN’ , kata lain stewardship dari kata tata-layan (to steward).

4) ”PEMFASILITASIAN” berasal dari kata ”fasilitasi” (memperlengkapi, membuat komplit) dan ”Pelayanan” (service, to serve).


Perlu ahli bahasa, budayawan dan seniman/wati turut memikirkan hal ini. Mereka yang berakar dari budaya Melayu, Sumatera, Jawa, Papua, NTT, Bali, Sulawesi, Kalimantan, WNI peranakan dll perlu mengkonsensuskan ini. Juga peran media/multi media.

Beberapa kata di atas sejatinya berasal dari khasanah Kepemimpinan Pelayanan, khasanah nilai Kristiani/Alkitab/ Gerejawi, seperti kata penata-layanan (stewardship) dan pelayanan (service, to serve). Namun, jika sudah menjadi konsensus nasional maka kata2 tsb sudah akan diberlakukan menjadi khasanah umum. Seperti halnya istilah kata: Visi, Misi, paradigma "Melayani Bukan Dilayani", dll bukankah jargon2 khasanah kristiani kini telah menjadi istilah2 yang berlaku umum di mana2, universil.

Maka sebagai contoh. Ketika kita memakai kata ”PEMBERLAYANAN PAPUA” misalnya, tentu makna, sense, persepsi, konotasi dan asosiasi pikiran kita akan berbeda, dibanding saat kita memakai kata ”PEMBANGUNAN PAPUA”. Dalam kata ’PEMBERLAYANAN” mengandung makna yang lebih utuh, positip, holistik, lebih kaya aspek2nya, ketimbang kita memakai kata ”PEMBANGUNAN” yang maknanya terasa lebih sempit (ekonomi, politik dst), terasa lebih elitis, dan yang jelas sudah terstigma dalam pikiran kita: berkonotasi negatip. Ada perasaan kelam yang dibawa dari masa lalu.

Salam 'pemberlayanan' , 'pemfasilayanan' , penatalayanan, 'pemfasilitasian' Nusa Persada kita!

Hans Midas Simanjuntak.
*) Pengamat-Praktisi Seni, Kepemimpinan dan Budaya.

Kamis, 16 Agustus 2007

Percayakah kita bahwa Indonesia akan maju? God bless Indonesia!

Dari informasi Transforma Sarana Media (TSM)/ edisi Agustus II 2007.

Renungan kemerdekaan.

Soal iman percaya keyakinan ini semakin relevan untuk membahas Indonesia masa sekarang dan ke depan. Percayakah kita bahwa Indonesia akan maju?

Sayup2 terdengar ada 4 orang sedang berbicara di beranda rumah. Makin lama suaranya makin keras. Rupanya mereka sedang membahas Indonesia, tentang “nasib” Indonesia sekarang dan ke depan.

Satu orang berkemeja biru mengatakan bahwa dia sama sekali ngga percaya bahwa Indonesia akan maju. Tidak akan. Dari dulu sejak dijajah Belanda sampai sekarang ya akan seperti ini, miskin dan terbelakang. Dia bilang, coba aja liat Indonesia sekarang: swalayan bencana, banjir bandang, kemacetan di mana2, kebakaran hutan, dampak pemasanasan global, kinerja polisi, ulah tentara, politisi parpol dan tokoh agama, separatisme berikut isu2 lokal regional nasional lainnya, yang ada mungkin hanya pesimisme. Pesimisme ini terkadang membuahkan rasa kecintaan dan kebanggaan terhadap Indonesia semakin pudar. Dan mungkin sudah bisa ditebak, bila cinta terhadap bangsa ini sudah makin memudar, bagaimana orang bisa ’tergerak’ untuk turut berkontribusi dan melayani bangsa ini dengan semangat berpengharapan. Sebaliknya, mungkin yang ada adalah sikap mengeluh, kesal, sedih, sewot, malu, minder, jengkel yang akhirnya tumpah menjadi pandang remeh identitas bangsa sendiri, apatis, dan mungkin ada keinginan untuk ’lari’ serta lupakan Indonesia. Kalau perlu ya pindah warga negara, jadi warga negara bangsa lain. Beres. Good bye Indonesia, forgetting Indonesia. Ada juga yang bilang: “saya bukan warga Indonesia lagi, mulai sekarang saya jadi warga dunia saja, kalau ngga ada yang mau menerima saya jadi warga negara bangsanya. Bagi saya soal warga negara mau di mana bagi saya ngga soal, asal jangan jadi warga negara Indonesia deh.. ?!

Orang kedua berpakaian oranye menanggap ‘no comment’. Tak tau mau kasih komentar apa untuk Indonesia. Yah.. just flowing aja, mengalir aja deh. Yah sekarang masih bisa makan, masih ada kerjaan, lets do it. Abis tak mengerti harus berbuat apa. Tau sih bahwa jaman lagi susah. Minyak tanah susah dicari karena program konversi. Minyak goreng curah terus naik kadang tak terkendali. Pejabat, pemimpin, tokoh agama banyak tak bisa dicontoh. Tapi toh mau buat apa? Dari tujuh turunan saya sudah di sini. Kecil di sini. Keluarga di sini. Mau ke mana lagi saya. Memang hidup di negara orang enak. Banyak yang bilang kesepian. Menjadi warga negara kelas dua, kelas tiga dst. Siapa yang mau menghiraukan. Sejelek2nya Indonesia, masih sangat enak untuk ditinggali. Makanan cocok, situasi orang2nya enak untuk diajak bergaul. Udara dan cuacanya juga sesuai untuk kulit dan fisik saya, dst. Sudah, diterima aja deh keadaan kita di sini. Mau diapa-apain pun tetap begitu. Ngga usah terlalu jauh2 berpikir. Dinikmati saja keadaan yang sudah begini. How to enjoy it!

Orang ketiga bertopi dengan pakaian jingga serta merta datang menimpali. Susah2 mikirin Indonesia. Kita jual aja Indonesia. Anggap aja dia barang. Komoditi. TKI/TKW aja bisa kita jual, tak peduli terampil atau tidak, legal atau ilegal, apalagi Indonesia. Kan banyak pulau2nya, tanah masih luas, sumber energi banyak, tambang melimpah. Mumpung orang2nya, SDMnya masih males2, bodoh pula, kita manfaatkan situasi ini untuk keruk keuntungan sebanyak2nya bagi diri kita sendiri. Ngapain mikirin negara. Ngga ada perlunya itu. Negara juga ngga mikirin kita. Apa pernah Indonesia mikirin kita? Waktu kita susah, Indonesia juga ngga pernah bantu kita. Iya sih, saya pernah sekolah di sini, pernah kerja di sini, cari makan juga pernah di sini. Bisnis juga di sini. Tapi kan itu sepenuhnya hasil kemampuan saya sendiri untuk memanfaatkan peluang. Ngga ada peran negara. Ngapain juga saya disuruh berkontribusi bagi bangsa. Bayar pajak negara. Kalau itu pajak dikelola benar. Kalau nggak? Sudahlah, kita ngga usah terlalu idealis liat Indonesia. Cari peluang apa yang bisa kita manfaatkan dari Indonesia. Biarin orang bilang saya opportunis. Yang jalanin hidup juga saya.

Orang keempat berpakaian coklat, terakhir mulai angkat bicara. Dia yakin Indonesia akan maju. Kuncinya, asumsi awalnya, adalah percaya, bahasa agamanya iman! Masih adakah keyakinan kita bahwa kita bisa maju ke depan? Apa alasan untuk percaya? Kita percaya karena masih ada orang-orang percaya !! Itu alasannya. Terlebih itu masih ada Tuhan yang kita percaya, yang sangat mampu untuk memulihkan bangsa dan ’tanah’ ini. Bukan karena melihat keadaan bangsa ini, tapi karena demi mempertahankan kedahsyatan namaNya sendiri.

Jika bangsa2 jiran seperti India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Cina bisa maju. Masak kita ngga bisa maju? Iman atau ’trust’ menjadi sangat sangat penting di era sekarang. Tanpa trust, iman bagaimana bisa timbul rasa cinta, cinta kepada bangsa. Nonsens. Sama pacar aja, kalau sudah tidak ada iman, trust bahwa ’dia akan jadi pacar gue selamanya’, gimana hubungan percintaaan dengan dia bisa berlanjut. Pasti langsung berhenti. Begitu juga dengan Indonesia. Karena masih ada percaya itulah, trust in God, maka kita masih mau memutuskan dan melanjutkan untuk mencintai Indonesia, melayani bangsa ini. Dengan cinta apa? Dengan ’unconditional love’ dan compassion (welas asih, belas kasihan).

Memang disadari sih, masih banyak kelemahan2 yang ada di ’tubuh’ bangsa ini. Tudingan2 kelemahan harus diterima sebagai fakta di mana kita berada sekarang. Beratus beribu fakta membuktikan bahwa kita lemah. Terima itu! Mungkin ngga usah berkilah, berdalih atau ’berlagak pilon’. Tapi kan ngga sampai di situ. Percaya perlu sekali dibangkitkan, bahwa Tuhan masih mempedulikan kita. Percaya kolektip. Tidak hanya sendiri, tapi meyakinkan teman2 yang lain pula, bahwa masih ada jalan untuk keluar.

Masak orang dari bangsa lain seperti peraih Noble 2006 Prof. Muh. Yunus yakin Indonesia akan maju, akan mampu memuseumkan kemiskinan dalam 15-20 tahun ke depan, masak kita sendiri belum atau tidak yakin? Setelah melihat bahwa kita betul2 lemah, sekaranglah waktunya kita harus membangun keyakinan, percaya, bahwa Indonesia pasti akan maju. Strengths kekuatannya apa sebagai alasan kita percaya? Kekuatannya karena kita masih mempunyai orang2 yang percaya! Terlebih kita masih punya Tuhan pemilik tanah negeri bangsa Indonesia yang siap memberkati kita.

Tak perlu jauh2 menunggu 2030. Dari sekarang pun kita bisa bangkit. Asal percaya.

Setelah selesai berbicara, keempatnya pun pindah dari beranda ke ruang makan dalam.
Ternyata mereka berempat makan bersama.


God bless Indonesia!! Selamat ultah, dirgahayu ke-62 tahun.

Salam kemerdekaan,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) (: